» 07 Oktober 2019
» 23 Januari 2019
» 22 Januari 2019
» 22 Februari 2021
» 10 Februari 2021
» 11 Januari 2021
Berawal dari hobi yang ditularkan keluarganya, Tonny Oscar menapaki karir di bidang fotografi ke level profesional. Segala momen unik yang dijepret lewat mata lensanya telah mampu menjadi pundi-pundi rupiah bagi sosok 26 tahun ini. “Keluarga saya memang suka banget dengan fotografi walaupun bukan profesional. Sekadar mengabadikan momen,” ujarnya.
Sang kakek yang menularkan virus fotografi kepada Tonny. Meski kala itu, sekitar 1980-an, dengan kamera film kakeknya banyak mengabadikan momen-momen penting keluarga. “Mulai dari papaku kecil sampai akhirnya menikah ada semua fotonya. Sampai kakek meninggal pun kamera itu diwariskan ke anak-anak dan cucunya. Siapa pun yang mau pakai bisa langsung ambil di lemari,” lanjut pemuda berkaca mata ini.
Awal 2005 keluarga Tonny mulai melirik kamera digital yang lebih canggih. Dengan kamera
pocket Tonny menyalurkan hobinya. Tonny mulai serius menggeluti dunia fotografi empat tahun kemudian. Saat dia duduk di bangku SMA.
Alumnus Prodi Pertambanan Universitas Pembangunan Veteran Nasional (UPN) Jogjakarta ini suka sekali memotret hal-hal unik yang bersifat dokumenter. Setiap blusukan di berbagai daerah selalu ada objek yang dibadikannya sebagai sebuah dokumen.
“Bagiku setiap daerah itu punya denyutnya sendiri-sendiri,” ungkap Tonny yang juga tertarik mendokumentasikan budaya masyarakat di setiap daerah yang dia kunjungi.
Tonny memang tak pernah mengikuti pelatihan khusus atau kursus untuk mengasah kemampuan teknik fotografinya. Dia belajar secara otodidak lewat buku, browsing di internet, dan berdiskusi dengan teman-temannya di komunitas fotografi. Sebut saja Kurniadi Widodo dan Muhammad Fadli. Dua fotografer inilah yang menjadi role model Tonny dalam berkarya.
Meski teknologi kian canggih, Tonny tetap menyukai kamera analog. Dengan kamera itu dia bisa meng-explore banyak hal dan berinteraksi dengan banyak orang unik.
Seperti personal project tentang anxiety yang pernah digarapnya beberapa waktu lalu. Dengan sedikit riset dan menggali informasi tentang anxiety lewat buku. Diskusi dengan psikolog pun dilakoninya sebelum melakukan eksekusi. “Semua itu aku lakukan supaya bisa total saat berkarya,” ujarnya. Dengan riset pula Tonny mampu menggunakan metafora untuk mewakili penyakit psikis iitu tanpa harus memperlihatkan penderitanya. “Foto dokumenter itu tidak melulu person tapi bisa soal ruang yang melingkupinya,” jelasnya.
Pada 2017 Tonny berkolaborasi dengan sinematografer Perancis Mehdi Haddou untuk memproduksi film pendek yang kemudian diikutkan dalam festival film di Prancis, yakni Mokhtar Film Festival. Di situ Tonny berperan sebagai director of photography (DOP).
Proyek terakhir yang belum lama digarap adalah dokumentasi umat muslim di Maladewa.
Ya, berkat fotografi Tonny bisa menjelajah negara-negara di Asia Tenggara.
Seperti banyak suksesor di bidang-bidang lain, hambatan dan kendala pernah dialaminya ketika dia mulai memantapkan diri sebagai fotografer. Situasi sulit itu saat dia harus meyakinkan orang tuanya ikhwal passion-nya itu. Apalagi prodi yang dia geluti selama ini adalah pertambangan. “Perlu waktu lama untuk meyakinkan orang tuaku,” ungkapnya. Tonny sadar akan persoalan itu. Sebab, orang tuanya merasa telah mengeluarkan biaya besar untuk kuliah pertambangan. Tapi Tonny memilih jalur lain sebagai tambatan hidupnya saat ini dan kelak di masa depannya.(yog/mg1)
sumber : https://www.radarjogja.co.id/keliling-asia-tenggara-bermodal-kamera/