» 07 Oktober 2019
» 23 Januari 2019
» 22 Januari 2019
» 22 Februari 2021
» 10 Februari 2021
» 11 Januari 2021
SLEMAN - Kebijakan penanggulangan bencana yang tertuang dalam Undang-undang (UU) No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana (PB), telah berusia 13 tahun. Maka dipandang perlu melakukan pembaruan sesuai dengan hasil pembelajaran selama ini, yang disesuaikan dengan kondisi aktual.
Saat ini DPR RI telah mengajukan UU PB sebagai Hak Inisiatif DPR RI periode 2019-2024. Proses pengajuan Rancangan Undang Undang (RUU) PB sedang berlangsung, dari DPR ke Pemerintah. Dalam Draf RUU tersebut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) merupakan pelaksana mandat utama dalam penanggulangan bencana (PB). Ini terlihat dari pasal-pasal yang menunjukkan mandat yang harus dilakukan. Untuk memastikan hal tersebut berjalan dengan baik, maka penguatan kelembagaan perlu dilakukan.
Hadirnya UU PB 24/2007, serta mandat yang dapat dilaksanakan, maka penanggulangan bencana (PB) dan pengelolaan risiko bencana (PRB) sudah menjadi kesadaran umum. PB/PRB juga telah diterapkan pada berbagai sektor, serta telah terlembagakan. Sistem PB yang ada sudah diakui keunggulannya, bahkan telah menjadi contoh praktik baik secara global. Ini dibuktikan melalui penghargaan “Global Champion for Disaster Risk Reduction” tahun 2011 untuk Presiden RI, Dr H Susilo Bambang Yudhoyono, yang diumumkan di Jenewa oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki Moon.
Lembaga BNPB
Kabar bahwa Pemerintah menghilangkan nama BNPB sebagai penyelenggara PB dalam RUU PB memang mengagetkan banyak orang. Tak terkecuali Ketua Komisi 8 DPR RI, Yandri Sutanto. Karena ini berlawanan dengan kecenderungan pendapat umum. Karena itu Jumat 25 September 2020 Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR RI mengenai RUU PB melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) ke Yogyakarta dan Padang. Diharapkan melalui kunjungan ini para pihak di Yogyakarta dan Padang dapat memberi masukan dan menceritakan praktik baiknya.
BNPB pada dasarnya telah menjalankan mandatnya secara cukup baik. Memang masih ada beberapa “pekerjaan rumah” yang masih perlu diperhatikan. Misalnya, pelaksanaan PB/PRB masih menunjukkan “jejak” ego-sektor; PRB/PB belum sepenuhnya menjadi gerakan dan gaya hidup para pihak. Juga, efektifitas penanganan darurat perlu disesuaikan dengan tingkat kebutuhan.
Untuk itu, FPTPRB mempunyai beberapa rekomendasi. Pertama, memperkuat tata kelola PB/PRB melalui alokasi sumberdaya untuk investasi PRB/PRB yang memadai. Kedua, menjadikan Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan RIsiko Bencana (Sendai Frame Work for Disaster Risk Reduction, SF-DRR) sebagai landasan tatakelola PB/PRB. Ketiga, memperkuat kelembagaan BNPB/BPBD yang telah ada, untuk menjalankan mandat koordinasi, pelaksana dan komando darurat. Ini perlu dilakukan berkenaan pertimbangan praktik baik dan investasi sumberdaya yang telah dilakukan, serta rencana ke depan. Keempat, memastikan profesionalisme sumberdaya manusia dalam PB/PRB baik dari ASN/PNS, TNI/Polri, akademisi, relawan atau lainnya, di pusat dan daerah. Penegasan kembali lingkup kerja profesi dalam PB/PRB berikut pembinaan dan penetapan standar kompetensinya.
Peraturan Pendukung
Hal lain yang perlu diperhatikan, permasalahan tersebut maka UU PB perlu peraturan pendukung, bukan sebaliknya. Beberapa kebutuhan yang perlu dicantumkan pada aturan tambahan tersebut antara lain: pertama, memperluas ruang peran masyarakat sipil, akademisi media, selain lembaga usaha lembaga internasional dalam PB/PRB. Kedua, mewadahi kemampuan filantrofi warga dalam lembaga keuangan kebencanaan independen, akuntabel, dan non partisan. Ketiga, memberi peran kolektif PT dan asosiasi keilmuan sebagai pengganti fungsi unsur pengarah, sekaligus untuk menyelaraskan proses dan hasil riset PT dengan penyelenggaraan PB/PRB. Keempat, memperkuat upaya PRB, khususnya pada tahap pra bencana, meliputi: identifikasi, pengkajian, pengelolaan dan komunikasi risiko. Kelima, memperkuat Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) merupakan bagian tidak terpisah dari Rancana Pambangunan Desa.
UU PB ini diharapkan lebih berbasis pengelolaan risiko bencana, guna penanggulangan bencana yang efektif dan inklusif, menuju ketangguhan berkelanjutan. Diharapkan BNPB/BPBD bersama parapihak, pentahelix, menjalankan mandat UU PB dengan baik. Perlu melakukan adaptasi, pelaksanaan mendorung sebuah gerakan; proses koordinasi akan lebih partisipatoris dan fasilitatif; dan proses komando sebagai kesepakatan, yang semuanya untuk ketangguhan.
Eko Teguh Paripurno, Koordinator Program Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta (UPNVY), Ketua Forum Perguruan TInggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (FPTPRB).