DETAIL INFORMASI
EKSKURSI ILMU TANAH DI PEGUNUNGAN SELATAN DIY :: dipost pada 14 November 2016
smile

Pada hari Sabtu tanggal 12 November 2016 Dr. M Nurcholis (dosen Prodi Ilmu Tanah UPNVY), Dr. rer.nat. Friedrich Nothdurft (Senior Expertant Servises Jerman) dan Dr susila Herlambang (Koordinator Prodi Ilmu Tanah UPNVY) melakukan ekskursi dan diskusi lapangan dengan rute Yogyakarta – Piyungan – Karangsari – Gading – Mulo. 

Pada saat berada di Piyungan Dr M Nurcholis menjelaskan landscape dan perkembangan tanah secara regional di lingkungan DIY (Gambar 1).  Lintasan ekskursi, menurut Dr Frederich) mempunyai karakterisitik yang sangat unik yaitu keragaman batuan tinggi dan perubahan jenis tanah yang tinggi dalam satuan wilayah yang relatf sempit.  Jika ditarik ke kawasan yang lebih luas lagi, yaitu Indonesia sebagai negara besar dengan bentuk kepulauan maka keragaman jenis tanah yang berkembang luar biasa tinggi.  Diperlukan kajian yang mendalam untuk mengetahui karakterisitk tanah, sebagai bahan untuk menentukan kebijakan mengenai pengelolaan tanah sehingga pemanfaatan tanah untuk pembangunan dapat secara berkelanjutan (Gambar 2).  Untuk itu pembukaan kembali Program Studi Ilmu Tanah di UPNVY  sangatlah tepat untuk mempersiapkan generasi mendatang yang mampu mengelola sumberdaya tanah secara arif dan bertanggungjawab secara akademik.  Hal ini berbeda dengan negara-negara yang relatif sempit dan berada di kawasan benua mempunyai keragaman tanah yang rendah maka peran Ilmu Tanah tidak seberat dan sepenting untuk negerara tersebut.

Dalam diskusi diperoleh masukan bahwa tanah-tanah yang berkembang dengan pengaruh aktivitas volkanisme mempunyai potensi yang besar dalam dukungan terhadap pertanian.  Material volkanik yang terpapar di permukaan tanah dapat memberikan unsur hara secara cukup dan seimbang, dan ini diperlukan bagi pertumbuhan tanaman.  Yang menjadi permasalahan di lingkungan tropika basah, seperti di Indonesia, adalah tingginya suhu dan kelembaban udara yang menyebabkan material organik yang ada di dalam tanah mudah mengalami dekomposisi dan kemudian ter-emisi sebagai CO2.  Dr Frederich memberikan saran untuk sistem pertanian yang dikembangkan adalah mendekati sistem yang secara alamiah sudah terbentuk, yaitu mengembalikan sisa tumbuhan kedalam tanah.  Pembakaran sisa tanaman sangat tidak dianjurkan karena akan mempercepat pengurangan kadar bahan organik di dalam tanah.

Pandangan umum bahwa banyak tanah-tanah marginal di Indonesia, menurut Dr Frederich kurang pas.  Dia membandingkan dengan negara-negara lain yang tidak mempunyai gunungapi, maka Indonesia secara umum tanah yang berkembang adalah masuk dalam kategori subur.  Didukung dengan curah hujan yang cukup dan suhu yang relatif stabil sepanjang waktu maka dalam satuan lahan dapat tumbuh beraneka ragam tanaman, yaitu: tanaman penghasil pangan, buah, kayu, industri, dan pakan ternak.  Dia mengatakan bahwa para petani di wilayah DIY yang telah mengembangkan teknologi multiple-culture farming adalah bukan lagi teknologi kuno, akan tetapi disebut sebagai the old advance technology of agriculture.  Dalam satu petak lahan dihitung jumlah jenis komoditas pertanian (secara umum) yang ditanam: (1) pohon jati, (2) kayu putih, (3) turi, (4) pepaya, (5) ketela pohon, (6) jagung, (7) kacang tanah, (8) tanaman polong, (9) rumput gajah (Gambar 3).  Dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman (multiple-culture farming) akan memberikan lingkungan yang sinergetik antar jenis komoditas tanaman.  Pertumbuhan organisme pengganggu tanaman akan menjadi rendah dibandingkan dengan mono-culture farming.

Kearifan petani di Yogyakarta khususya dan umumnya di Indonesia yang sudah menemukan dan menerapkan multiple-culture farming merupakan best practice dalam mempertahankan kesuburan tanah (soil fertility maintenance).  Praktik pertanian ini dapat memberikan dampak positif dalam hal penutupan permukaan tanah secara optimum sehingga dapat mengurangi laju erosi.  Namun dalam multiple-culture farming penutupan tanah tidak hanya sekedar menutup permukaan tetapi juga mempunyai nilai ekonomi. Disamping itu juga dengan low input technology dan meminimumkan penggunaan pupuk dan pestisida kimia, maka mestinya hasil peraniannya pun mampunyai kualitas kesehatan yang tinggi.

Tugas kita para akademisi di perguruan tinggi, UPNVY, adalah bagaimana mengupas teknologi multiple-culture farming ini dengan cara menelti secara mendalam (indepth) dan komprehensif terhadap teknologi ini.  Diperlukan pendekatan dari sisi tanah, tanaman, organisme pengganggu tanaman, siklus hara, kualitas lingkungan, kualitas hasil, dan ekonomi dalam meneliti multiple-culture farming.  Sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mendeklarasikan dari Yogyakarta sustainable agriculture untuk Indonesia dan Dunia.

Oleh Dr M Nurcholis