» 07 Oktober 2019
» 23 Januari 2019
» 22 Januari 2019
» 22 Februari 2021
» 10 Februari 2021
» 11 Januari 2021
Tim Ekspedisi Paleotsunami yang dibentuk dengan kerja sama antara UPN Veteran Yogyakarta, Brigham Young University dan BPBD Kepulauan Maluku ini terdiri dari lima peneliti, salah satunya adalah Dr. Ir. C. Prasetyadi, M.Sc. dosen UPN Veteran Yogyakarta sekaligus peneliti bidang Geologi. Ekspedisi ini memiliki satu tujuan: memetakan lini waktu terjadinya tsunami di Indonesia.
Lokasi Indonesia seringkali disebutkan sebagai wilayah yang sangat menguntungkan secara ekonomi. Namun di sisi lain, negara ini berada di pertemuan antara 3 lempeng tektonik dengan 127 gunung berapi aktif tercatat sejak tahun 2012. Apa saja bisa terjadi saat lempeng-lempeng ini mulai bergerak.
Bencana tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi turning point kehidupan banyak orang. Gempa berkekuatan 9.3 skala Richter itu memicu tsunami yang kemudian memakan 280.000 korban jiwa di 8 negara. Di sisi lain, bencana serupa di Sendai, Jepang, di tahun 2011 memakan 20.000 korban jiwa dengan magnitude yang sama.
“Ini adalah pertanda betapa negara ini tidak siap menghadapi bencana,” terang Carlos Prasetyadi, salah satu peneliti dari UPN Veteran Yogyakarta. Ia meyakini bahwa walaupun kepadatan penduduk bisa menjadi salah satu aspek yang menjadikan dampak gempa menjadi begitu dahsyat, aspek ketidaksiapan juga tidak bisa dipungkiri.
Di Indonesia, sumber ancaman bencana tersebar merata, seperti patahan aktif, gunung berapi, curah hujan tinggi, dan lautan luas. Sumber ancaman ini ada sejak jutaan tahun lalu, tetapi bencana dengan korban dan kerugian besar baru terjadi dalam 12 tahun terakhir.
Dalam kurun itu, lebih dari 11.500 bencana di Indonesia, menelan lebih dari 193.000 korban jiwa dan kerugian lebih dari Rp 420 triliun. Kerugian ini sebanding dengan APBN 2004 dan lebih dari seperlima APBN 2016.
Lebih dari hanya sekedar mengenai kesiapan anggaran, kesulitan untuk meredam kerugian dan korban jiwa ada pada pertumbuhan penduduk yang meningkat drastis. Penduduk Pulau Jawa, contohnya, telah meningkat sebesar 10 kali lipat karena tingginya urbanisasi. Bersamaan dengan itu, kerusakan lingkungan semakin tinggi karena pembangunan besar-besaran tanpa memikirkan aspek Geologi.
Semua kerentanan ini mengakibatkan meningkatnya korban dan kerugian. Mitigasi bencana tidak dapat ditunda. Dan berita terburuknya, Indonesia bisa jadi sedang dalam fase peningkatan jumlah bencana gempa.
Meramal Bencana dengan Sejarah
Ekspedisi dilakukan di pulau Lakor, Leti & Moa, Kepulauan Maluku Barat Daya. Zona ini dipilih karena lokasinya yang dikepung oleh tunjaman lempeng, membuatnya rentan bencana gempa dan tsunami. Catatan sejarah menunjukkan bahwa kawasan ini mengalami paling tidak satu kali gempa bumi besar dalam jangka waktu 37 tahun, dan tahun ini terhitung 42 tahun setelah gempa terakhir terjadi.
Riset dilakukan dengan trenching sedalam 1.5 meter untuk mencari endapan yang terbawa sebagai bukti terjadinya tsunami di masa yang lampau. Pada riset terakhir, para peneliti berhasil menemukan dua lapisan pasir, bagian atas setebal 30 s/d 40 cm berwarna cokelat tua terdiri dari material pasir dan material organik hasil pelapukan. Pada bagian bawah, ditemukan lapisan pasir dengan ukuran butir medium sand, berwarna cream, berbentuk angular, mengandung fragmen-fragmen cangkang kerang, dan organisme foram bentos. Kehadiran foram bentos ini perlu dianalisis lebih lanjut di Laboratorium Mikropaleontologi untuk diketahui lingkungan kehidupan asalnya di laut dangkat atau di laut dalam.
Jika ada sejumlah foram bentos yang berada di lingkungan laut dalam, maka kemungkinan besar bahwa endapan yang digali merupakan endapan tsunami purba yang selanjutnya perlu dilakukan penentuan umurnya, sehingga dapat dijadikan acuan atau verifikasi catatan sejarah yang telah dibuat oleh para ahli sebelumnya.
“Aktivitas bumi sangat sistematis, kita bisa melihat siklus terjadinya (bencana) dari bukti-bukti tersebut,” papar Pak Prasetyadi. Hasil laboratorium dari material yang ditemukan dapat menjadi data untuk memperkuat penyusunan lini waktu kapan bencana tersebut berlangsung.
Sosialisasi Mitigasi Bencana Gempa Bumi
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sebanyak 148,4 juta warga tinggal di daerah rawan gempa bumi dan 5 juta di daerah rawan tsunami. Kondisi ini mengharuskan adanya sosialisasi evakuasi saat bencana terjadi.
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggabungkan data atau catatan sejarah tsunami sejak tahun 1500 s.d. 1900 yang dibuat oleh Belanda (Katalog Wichmann) dan telah diterjemahkan dan dipublikasikan oleh Prof. Ron Harris.
Menjawab keperluan tersebut, tim riset Paleotsunami melakukan edukasi di masyarakat dengan sosialisasi 20/20/20 yang berarti ketika gempa melebihi 20 detik, evakuasi harus dilakukan dalam 10 menit menuju ketinggian 20 meter. Anjuran ini didapat dari Wichmann’s Catalogue - catatan sejarah kejadian tsunami yang pernah terjadi pada tahun 1500 s/d 1900. Data ini diterjemahkan oleh salah satu peneliti tim ekspedisi, yaitu Prof. Harris dari Brigham Young University, Utah.
Kegiatan ekspedisi dan sosialisasi penanggulangan bencana ini diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat saat bencana terjadi. Selain itu, diharapkan pemerintah dapat memberikan banyak perhatian pada daerah-daerah rawan bencana dengan memperlajari titik-titik yang bisa menjadi lokasi evakuasi dan berbagai sosialisasi yang lebih komprehensif agar resiko jatuhnya korban jiwa dapat dikurangi.
Tim Ekspedisi Paleotsunami: