» 07 Oktober 2019
» 23 Januari 2019
» 22 Januari 2019
» 22 Februari 2021
» 10 Februari 2021
» 11 Januari 2021
KABAR tidak terduga dari Semenanjung Korea di awal Maret 2018 ini memberikan indikasi positif pada kemungkinan Korea bersatu. Delegasi Korea Selatan (Korsel) dipimpin Kepala Keamanan Nasional bertemu langsung dengan Presiden Korea Utara (Korut) Kim Jong-un pada 5-6 Maret 2018. Bahkan Presiden Kim ingin menuliskan sejarah baru reunifikasi kedua Korea.
Pertemuan itu memberikan hasil positif. Pertama, rencana Korsel dan Korut menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi (KTT) di akhir April 2018. Kedua, rencana itu disusul komitmen Korut melucuti senjata nuklir atau denuklirisasi dan tidak menggunakan senjata konvensionalnya di Semenanjung Korea. Ketiga, Korut juga ingin mengadakan pertemuan informal dengan AS untuk denuklirisasi serta normalisasi hubungan bilateral kedua negara. Pyongyang memastikan tidak ada provokasi militer, termasuk uji nuklir dan peluncuran rudal balistik, selama pembicaraan antara Korut dengan Amerika Serika (AS) berlangsung. Rencana KTT ini sebenarnya merupakan pengulangan ajakan serupa dari pemimpin Korut di Olimpiade Musim Dingin pada Februari yang lalu. Walaupun menyambut usulan pertemuan itu, Presiden Korsel tetap berhati-hati dengan mempertimbangkan reaksi sekutu terdekatnya, yaitu AS.
Kehati-hatian Korsel juga berkaitan dengan kebiasaan Korut bersikap bersahabat dengan maksud mencairkan tekanan internasional atau tekanan domestik, seperti ketersediaan pangan dan listrik bagi rakyatnya. Perkembangan ini juga tampak sangat paradoks dibandingkan kecenderungan perilaku Korut yang sangat agresif, provokatif, dan tidak terduga sepanjang 2017. Korut bahkan masih menggelar parade militernya pada 1 hari menjelang upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Pyeongchang pada 9 Februari 2018. Sementara itu, Korsel terikat dengan Amerika Serikat untuk menggelar latihan militer rutin selama Olimpiade Musim Dingin 2018 berlangsung. Meski demikian, momentum strategis melalui KTT perlu dimanfaatkan kedua negara Korea. Sebelumnya, kedua Korea pernah bertemu di dua (2) KTT . Yakni KTTAntar-Korea pertama kali digelar pada 13-15 Juni 2000 di Pyongyang Korea Utara, antara Presiden Kim Dae-jung dengan Kim Jong-il.
KTT Antar-Korea kedua dilangsungkan juga di Pyongyang antara Presiden Roh Moohyun dengan Kim Jong-il pada 2-4 Oktober 2007. Momentum perdamaian di Semenanjung Korea bahkan sudah berlangsung selama 17 hari pada Olimpiade Musim Dingin pada Februari 2018. ‘Penyatuan’ Korea dimulai pada upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin, Kamis (9/2/2018) malam. Kedua negara Korea itu bersatu dalam defile peserta dengan membawa bendera unifikasi kedua negara. Seremoni ini juga dihadiri oleh Presiden Korsel Moon Jae-in dan adik perempuan pemimpin Korut, Kim Jong-un, yakni Kim Yo Jong. Mereka tampak bersalaman dan saling menyapa di tribun kehormatan. Korut mengirimkan 22 atlet pada Olimpiade ini.
Prakarsa diplomatik Korut ini sangat menarik karena dilakukan di tengah meningkatnya tekanan internasional. Selama ini Presiden AS Donald Trump ingin mengenakan tekanan ekonomi dan diplomatik maksimum terhadap rezim di Korut itu. Langkah strategis Korut itu dapat membuat Presiden Moon berada dalam posisi berbeda dengan pemerintahan Trump. Korut tampaknya ingin memisahkan Seoul dan Washington.
Bahkan Pyongyang berkeinginan keras agar komitmen reunifikasi kedua Korea menjadi inisiatif mereka sendiri, tanpa keterlibatan AS. Tanpa AS, rencana Korut ini tentu saja akan sulit diwujudkan. AS tetap menjadi faktor mendasar bagi perdamaian di Semenanjung Korea. Keinginan Korut berdialog dengan AS dan keinginan Korsel menjembatani dialog antara Korut dan AS menjelaskan posisi strategis AS bagi kedua Korea itu. Komitmen pemimpin Korut bertemu dengan pemimpin Korsel disertai janji-janji lainnya bias menjadi faktor-faktor penentu bagi upaya membangun kepercayaan bersama.
Harapan besar ada di KTT bulan April mendatang, yaitu kedua Korea membuat peta jalan bagi penandatanganan perjanjian perdamaian bilateral dan pembukaan hubungan diplomatik. Termasuk pembukaan perwakilan diplomatik AS di Pyongyang.
(Ludiro Madu MSi. Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, UPN ‘Veteran’Yogyakarta. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Sabtu 10 Maret 2018)