» 07 Oktober 2019
» 23 Januari 2019
» 22 Januari 2019
» 22 Februari 2021
» 10 Februari 2021
» 11 Januari 2021
Klub penelusur gua asal Jogja, Acintyacunyata Speleological Club (ASC), memberikan kado istimewa bagi negeri jelang perayaan HUT ke-73 Kemerdekaan RI. Mereka berhasil mencatatkan sejarah baru, mencapai dasar Hatusaka, gua vertikal terdalam di Indonesia. Berikut laporan yang dihimpun wartawan Harian Jogja Nugroho Nurcahyo.
Bulu kuduk Ahmad Sya’roni meremang beberapa saat setelah menjejakkan kaki di dasar Gua Hatusaka, belantara rimba Taman Nasional Manusela, Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Kali pertama menjejakkan sepatu boat di dasar gua, rasa bungah dan bangga menghinggapi. Ia menjadi orang Indonesia pertama yang menginjakkan kaki di dasar gua vertikal terdalam di Indonesia. Jumat (6/8/2018) pukul 16.10 WIT, menjadi waktu yang amat bersejarah baginya, juga bagi dunia penelusuran gua di negeri ini.
Apalagi ini adalah upaya kali kedua klub yang berkantor di Jl Kusumanegara 276, Jogja, ini menelusuri luweng tersebut. Pada 2011, ASC gagal menggapai dasar Hatusaka dan mentok di kedalaman -190 meter akibat air sungai yang keburu membanjiri lorong gua.
Sya’roni yang karib disapa Bokir tak mau berlama-lama terlarut dalam euforia. Ia yang menjadi koordinator ekspedisi sekaligus personel yang mencatat data pemetaan, langsung menjalankan tugasnya mengukur dimensi ruangan dasar luweng.
Senter ia arahkan ke sejumlah penjuru. Mahasiswa Teknik Industri UPN Veteran Jogja itu tertegun. Cahaya senter 1.000 lumens yang ia sorotkan tak dapat menjangkau salah satu dinding gua apalagi atapnya. “Seperti berada di dalam stadion sepak bola dalam keadaan gelap gulita,” kata Bokir, Selasa (14/8/2018).
Pun cahaya senter berintensitas 4.000 lumens yang dibawa rekan satu timnya, A.B. Rodhial Falah, yang menjejak dasar gua selang 2,5 jam kemudian, tak jua menembus dari sisi dinding satu ke dinding lain. Sebagai pembanding, intensitas cahaya lampu Toyota Kijang Innova adalah 3.000 lumens.
Ruangan itu memang ekstra luas dengan langit-langit sangat tinggi. Saking luas dan tingginya, di dalamnya bisa dibangun konstruksi setinggi Tugu Monas atau patung raksasa Garuda Wisnu Kencana seperti di Jimbaran, Bali. Hasil pengukuran akhir pemetaan tim ASC, dimensi ruangan di dasar Gua Hatusaka mencapai 90 meter x 62 meter dengan tinggi atap 180 meter.
Namun bukan gulita yang bikin Bokir jeri. Sebagai penelusur gua berpengalaman, hasil observasi medan, justru membuat perasaannya makin tak enak.
Blender Raksasa
Hatusaka terletak di ujung alur Sungai Niatulun. Sekira dua kilometer dari bibir luweng, air Niatulun menghilang masuk ke rekahan batu gamping, menyisakan alur kering hingga ke mulut gua. Namun jika hujan turun, Sungai Niatulun yang airnya tak bisa lagi terserap rekahan, bakal mengalir masuk ke Gua Hatusaka. Karakter luweng ini mirip gua dalam film Sanctum yang diproduseri James Cameron.
Cuaca di lokasi Gua Hatusaka berbeda dengan cuaca umumnya di Pulau Seram. “Tidak bisa diprediksi sehingga menjadi tantangan dan ancaman utama,” kata Rodhial Falah.
endati di atas gua merupakan hutan hujan tropis yang lebat, di dasar gua tidak dijumpai batang-batang pohon besar. Hanya ada serpih-serpih kayu berukuran kecil. Inilah yang bikin keduanya merinding membayangkan risiko berada di kedalaman perut Bumi pada Jumat malam itu.
Tim menduga serpih kayu itu adalah batang-batang kayu besar di permukaan yang terbawa banjir akibat terkoyak-koyak oleh dahsyatnya turbulensi air di pantat gua.
Dasar Luweng Hatusaka ibarat sebuah blender raksasa. Apapun yang terbawa masuk ke dasar gua, akan hancur berkeping-keping digilas pusaran air.
“Bongkahan batu yang di atas begitu besar, di bawah tinggal sekepal tangan. Batang kayu yang di atas begitu besar-besar di bawah tinggal serpihan. Apalagi tubuh saya,” kata Bokir.
Di dasar Hatusaka, ditemukan pula sekelompok cacing tanah dan beberapa jenis serangga. Mereka juga menemukan tumbuhan berdaun hijau setinggi 15 cm, pertanda di saat saat-saat tertentu, cahaya mentari bisa masuk hingga dasar gua.
Khawatir tanah terlanjur jenuh air, keduanya tidak berlama-lama di dasar gua. “Daerah tangkapan hujannya besar. Kalau banjir, luweng bisa berubah jadi air terjun berjenjang setinggi 220 meter, 100 meter dan 180 meter. Sulit keluar dengan selamat kalau hal itu sampai terjadi,” kata Rodhial Falah yang bertugas menjadi penganalisa geologi dan pendokumentasi.
Bokir dan Rodhial Falah hanya berjumpa setengah jam di dasar gua untuk bekerja sama membuat dokumentasi. Pemotretan juga tidak mudah. Dua cahaya flash tidak membantu mendapatkan gambaran utuh ruangan ekstra besar di dasar gua.
Bokir kembali naik duluan. Butuh waktu satu jam meniti tali hingga sampai di teras pertama tempat berlindung. Rodhial Falah butuh dua jam sebab ia harus mencopoti tambatan sembari meniti tali. Jejak kakinya menjadi jejak terakhir yang ditinggalkan manusia di tempat itu.
Tim dari ASC sebenarnya terdiri dari delapan orang dengan spesialisasi masing-masing. Selain Bokir dan Rodhial Falah enam personel lain yakni Sigit Wicaksono (koordinator tim pembuat lintasan/rigging); Adiguna Prasetyo, Andi Situmorang, Arief Wicaksono (ketiganya anggota tim rigging); Andi Setiabudi (Pemetaan gua dan analisis geologi), dan Erlangga Esa Laksmana (koordinator pemetaan gua dan analisis sosekbud).
Walau berdelapan, hanya Bokir dan Rodhial Falah yang turun hingga ke dasar gua, lainnya tinggal di teras dan bibir luweng di permukaan. Kondisi hujan yang turun di permukaan membuat tim memutuskan untuk mengeksplorasi dasar gua secepat mungkin.
Medan Sulit
Demi mencapai dasar luweng, tim ekpedisi telah melalui perjalanan panjang sejak sepekan sebelumnya. Mereka berangkat dari Jogja menuju Ambon pada 29 Juli 2018 sebelum menyeberang ke Pulau Seram.
Pada 2 Agustus, sebelum memasuki kawasan gua di Gunung Hatusaka, tim ASC diharuskan mengikuti upacara adat di Desa Saleman dipimpin tetua adat.
Selepas upacara adat, tim ASC dibantu tim dari Balai Taman Nasional Manusela dan porter dari warga desa-desa di sekitar gua berjalan kaki tiga jam menyusur hutan hujan tropis sebelum mencapai titik masuk gua.
Perjalanan menembus hutan itu sambil membawa banyak tetek bengek perlengkapan penelusuran gua seberat total lebih dari satu ton. Ada bergulung-gulung tali kernmantel dengan total panjang 700 meter, peralatan caving seberat 260 kg, logistik 250 kg, plus perlengkapan lain 500 kg.
Pada 3 Agustus 2018, tim mulai memasang lintasan tali untuk menuruni pitchpertama sedalam -220 meter. Gua Hatusaka memiliki beberapa lorong vertikal yang diselingi teras-teras.
Belajar dari kegagalan ekspedisi sebelumnya, tim ASC merintis jalur baru yang berbeda dari jalur sebelumnya. Pembuatan lintasan lebih rumit karena harus didesain sedemikian rupa menghindari banjir yang bisa datang sewaktu-waktu.
Menjelang petang di hari pertama, tim perintis baru mencapai kedalaman -30 meter. Hari kedua, kedalaman -170 meter. Baru pada hari ketiga mereka mencapai teras di bibir luweng terakhir, Ultimate Pitch, di kedalaman -240 meter.
“Medannya rapuh. Batuannya mudah rontok. Kalaupun batunya kokoh, berisiko terjadi friksi pada tali. Makanya khusus pemasangan lintasan memakan waktu dua hari,” kata Sigit Wicaksono.
Butuh tim solid untuk menelusuri Hatusaka. Setiap anggota tim harus memiliki kemampuan dan jam terbang yang tinggi dalam penelusuran gua. Salah satu hal terpenting dalam mendukung keberhasilan menelusuri Gua Hatusaka adalah perhitungan cermat dalam menaksir cuaca. Beberapa ekspedisi sebelumnya gagal lantaran faktor ini.
Selain menjadi tim Indonesia pertama yang mencapai dasar Gua Hatusaka, ASC berhasil memutakhirkan data kedalaman, luas ruangan di dasar gua, dan mencatat biota dan karakter lain dari Hatusaka.
Kedalaman Gua Hatusaka menjadi -405 meter atau selisih beberapa meter lebih dalam dari data yang selama ini menjadi acuan. “Jika dihitung dari bibir luweng, kedalaman pengukuran mencapai -424 meter. Kalau dihitung dari titik entrance terendah, kedalamannya -405 meter,” kata Rodhial Falah.
Data tim penelusur gua dari mancanegara sebelumnya, mencatat kedalaman gua -388 meter. Angka ini tetap menempatkan Hatusaka menjadi gua terdalam di Indonesia, disusul Gua Lomes Longmot (360 m) dan Gua Sibil Buk (-349 m), keduanya di Papua Barat.
Gua Hatusaka pertama kali dijelajahi dan dipetakan tim ekspedisi gabungan dari Amerika, Inggris, Prancis dan Australia pada 1996. Upaya pertama mencapai dasar luweng gagal. Tim gabungan lintas negara itu baru berhasil mencapai dasar gua dalam percobaan kedua pada 1998.
Tim kedua adalah tim ekpedisi dari Italia pada 2016 yang dipimpin Andrea Benassi yang berhasil memetakan satu segmen lorong gua. Pada Agustus 2017 lalu, Mapala Universitas Indonesia mencoba mengibarkan bendera merah putih di dasar gua, namun gagal di kedalaman -220 karena banjir memasuki lorong gua.
Ekspedisi ASC ke Maluku pada 2018 ini adalah penelitian bentang karst kesekian kali yang dilakukan ASC di wilayah karst Indonesia bagian Timur. Klub ini, pada 1984, bersama tim Anglo-Australian Speleological Expedition menemukan dan memetakan Gua Jaran di Pacitan yang sampai kini masih menjadi gua terpanjang di Pulau Jawa.
Pada era 1980-an, bersama tim British Cave Research Association (BCRA), ASC turut membantu memetakan sejumlah gua di kawasan karst Gunung Sewu. Sejak berdiri pada 1 Januari 1984, klub ini telah menginventarisasi sebanyak 2.743 sebaran gua di wilayah karst Nusantara.
Sumber : http://news.harianjogja.com/read/2018/08/16/500/934526/ekspedisi-bersejarah-menembus-dasar-luweng-terdalam-di-indonesia